intro: jadi dokter nggak gampang? iya!

Jadi, saya memutuskan untuk membagi pengalaman kecil saya tentang menjadi Koas/Dokter Muda, mumpung sebentar lagi saya akan menyelesaikan tantangan ini. Amen. Doakan saja.

Beberapa blog mengatakan bahwa menjadi dokter tidak gampang. Ya, memang nggak gampang. Kalau gampang saya sudah menjadi dokter sejak lulus S.Ked. Pada kenyataannya, kampus saya memberlakukan sistem OSCE COMPREHENSIVE (biasanya, sih, disingkat Compre) untuk mahasiswanya yang hendak melanjutkan studi profesi atau yang dikenal sebagai Co-Ass (Koas/Dokter Muda).

Compre ini sebenarnya ada dua kali selama Koas berlangsung. Compre pertama, sewaktu akan jadi Koas; lalu Compre kedua, sewaktu sudah menyelesaikan dan sudah lulus semua stase Koas. Kalau ada yang belum tahu, Osce Compre itu semacam ujian praktik bagi para mahasiswa kedokteran. Nggak tanggung-tanggung, semuanya diujikan. Dari anamnesis atau tanya-jawab pada pasien, pemeriksaan fisik, usulan pemeriksaan penunjang, sampai diagnosis. Semuanya dilakukan dalam waktu 10 menit. Kalau sudah lewat dari 10 menit itu, maka peserta Compre harus pindah ke soal berikutnya. Begitu terus sampai selesai.

Total ada 14 soal yang harus dikerjakan dan 14 ruangan yang harus didatangi. Ini bukan soal biasa semacam multiple choice atau essay. Ini soal praktik. Misal, di meja penguji sudah tertulis keadaan klinis pasien, lalu ada perintahnya: ‘Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien’ dan di bawahnya, ‘Sampaikan usulan pemeriksaan penunjang’ atau ‘Sampaikan diagnosis sementara dan diagnosis banding’, maka, ya, kita harus melakukannya. Setiap pemeriksaan yang kita dapatkan, kita laporkan pada penguji.

Dan kabar buruknya, Compre ini dilaksanakan seminggu setelah wisuda! Yang awalnya masih senang-senang karena lulus preklinik dan mendapat gelar S.Ked, eh seminggu kemudian harus menghadapi neraka. Karena itulah, jauh-jauh hari sebelum wisuda, teman-teman satu angkatan membuat acara belajar bersama untuk menyamakan persepsi.

Kenapa kok harus disamakan persepsinya?

Ya, supaya jawaban para peserta Compre nanti sama semua. Disuruh melakukan A, jawabnya B. Ditanya C, jawabnya D. Nggak ada yang jawab melenceng. Dengan begitu, nilai bagi para peserta bakalan terpukul rata, bukan? Dan kemungkinan untuk lulus juga semakin besar.

Saya punya teman belajar kelompok, total ada 7 orang sama saya. Kadang nambah, jadi ada 8-9 orang. Dalam seminggu sebelum Compre itu, kami belajar mati-matian; setiap pagi sampai sore, kira-kira jam 8 pagi sampai jam 4 sore, lah. Kami pakai apapun yang bisa kami gunakan. Contohnya, untuk pemeriksaan fisik thorax + abdomen, kami pakai boneka teddy bear super besar. Atau bahkan untuk sirkumsisi/khitan, kami bela-belain beli mentimun dan kondom! Haha. Untungnya, kami kooperatif, kalau ada yang punya minor set (untuk bedah minor) atau perlengkapan THT, dibawa, sekalian mencoba untuk memakainya.

Hari pertama sampai ketiga masih semangat, eh begitu hari keempat dan kelima latihan… kami udah agak lemas. Bukannya malas belajar, tapi jenuh. Setiap hari kami berdoa supaya Compre cepat datang dan kami nggak perlu belajar banyak lagi.

Jreng.

Akhirnya, hari itu pun tiba. Karena nama saya berawalan ‘O’, maka saya dapat giliran tengah-tengah, yaitu hari ke-2. Total ada 3 hari untuk pelaksanaan Compre ini. Tapi lebih asyik yang dapat hari pertama, ya. Habis itu, kan, mereka bisa bebas. Tinggal menunggu pengumuman lulus/tidaknya saja. Ternyata, soal Compre hari pertama – kedua – ketiga itu berbeda semua. Misal pada stase bedah, ada yang dapat appendicitis (radang usus buntu), ada yang dapat kecelakaan lalu lintas (harus menjahit luka robek), ada pula yang dapat hiperplasia prostat (pembesaran prostat). Pokoknya, soal Compre ini nggak bisa diprediksi.

Yang paling saya ingat tentang Compre adalah station Kegawatdaruratan. Skenarionya yaitu ada pasien yang tiba-tiba henti jantung di tengah jalan. Otomatis, saya langsung teriak, “PAK TOLONG PANGGILKAN AMBULANS DAN BAWA AED SEGERA!” dengan kencang. Padahal ya sebenarnya yang saya suruh adalah bapak-bapak kepala ruang skill (yang bisa saya gunakan untuk membantu saya) dan pasien yang jatuh adalah manekin. Yaudah, kan, saya melakukan resusitasi jantung paru. Cek nadi, nggak ada nadi maka 30 kali pijat jantung, 2 kali bantuan nafas. Gitu terus. Sampai AED datang. Pas udah datang, bisa tahu EKG dan gelombang jantungnya. Nah, pas itu saya melihat EKG pasien ventrikel takikardi (salah satu khas pada pasien henti jantung) dan terus saya shock pakai AED dan terus memijat jantungnya.

Ah, sampai 4 kali ada mungkin. Ngos-ngosan. Terus pas terakhir, saya cek EKG lagi. Saya bimbang pada gelombang yang tampak, antara itu PEA (Pulseless Electrical Activity) atau Sinus Bradikardi (detak jantungnya lambat). Dan penatalaksanaan dari kedua gelombang itu beda banget. Akhirnya saya menjawab PEA. Sampai 3 kali, jawabnya. Mungkin dokternya udah sebal dan gemas gitu kali ya saya jawab PEA mulu. Beliau bilang, “Sekali lagi kamu jawab PEA, nggak saya lulusin!” Serem abis. Hingga akhirnya saya disuruh cek nadi. Eh, kok nadinya teraba. Terus mendadak saya teriak, “EH ITU BUKAN PEA, DOKTER, ITU SINUS BRADIKARDI!”

Dokternya kaget. Tapi tetep aja beliau bilang, “Yaudah tetep aja kamu nggak saya lulusin.”

Saya mendadak sedih, dong. Kepikiran banyak hal. Bagi saya, memalukan banget kalau sampai nggak lulus dan Koas-nya diundur. Saya orangnya nggak suka menanggung malu karena suatu hal yang nggak bisa saya raih. Karena itu, setelah station Kegawatdaruratan adalah station istirahat, di station itulah tiba-tiba saja saya menangis tanpa sebab. 10 menit istirahat saya habiskan dengan menyesal karena salah jawab Sinus Bradikardi jadi PEA.

Station setelahnya adalah station Radiologi dan station Kulit-Kelamin. Saya udah nggak konsen sekali menjawab kedua station itu. Bodo amat, deh. Yang penting cepat selesai Compre-nya. Akhirnya pas udah selesai, saya menceritakan hal ini ke beberapa teman saya. Mereka bilang, ‘Udah nggak apa-apa, yang penting udah dijalani dengan optimal.’ Memang, sih, seharusnya optimis dengan apa yang telah dijalani. Sejak itu, saya masih saja kepikiran.

Pengumuman kelulusan Compre adalah satu minggu setelahnya. Deg-degan. Banyak isu beredar kalau angkatan saya banyak yang lulus Compre. Dan sebenarnya itu oke juga dibuat sistem Compre, jadi seperti ‘saringan’. Ada Koas yang baru saja menyelesaikan stase Koas-nya, karena itu tempat mereka harus diganti dengan kami-kami yang baru saja lulus preklinik, dan untuk menempati tempat kosong tersebut, maka harus ada seleksi. Nggak mungkin semuanya langsung masuk, karena slot untuk Koas adalah terbatas.

Ketika pengumuman sudah benar-benar keluar, riuh sekali di grup angkatan. Sebagian besar menyampaikan selamat pada masing-masing orang. Sebagian besar… kaget. Karena mereka harus masuk rotasi Koas untuk pertama kalinya adalah lima hari setelah pengumuman diumumkan. Kabar baik untuk saya adalah saya baru masuk rotasi Koas tiga minggu kemudian. Masih punya banyak waktu untuk belajar lagi.

Tapi kabar buruknya: stase pertama saya adalah Interna/Penyakit Dalam.

Kaget? Kaget.

Bukan Koas namanya kalau tidak nekat, benar? Karenanya, 8 Juni 2015 adalah hari baru bagi saya. Entah itu bertemu dengan pasien, bertemu dengan dokter yang sifatnya unik-unik, bahkan bertemu dengan kematian.

 
0
Kudos
 
0
Kudos

Now read this

it’s difficult to hold your hand

Lan tahu ada yang tidak beres dengannya ketika untuk pertama kalinya gadis itu menggenggam tangan Yue. Anak perempuan, usianya tahun ini limabelas, pipinya bersemu kemerahan dengan surai kecokelatan yang nampak selaras dengan bentuk... Continue →