知っていますか?

“Ichiyou-chan, daijoubu?”

Tak ada jawaban.

Dengan nafas terengah, Tsurugi menghentikan langkahnya. Sudah berjam-jam mereka berjalan tanpa tahu arah—jelas mereka masih berada di Tokyo, ia bisa tahu dari tulisan yang terpampang di lisplang petunjuk jalan, namun satu bulan berada di balik tempat penculikan membuatnya asing terhadap kondisi sekitar. Ia sudah lupa bagaimana caranya membeli tiket kereta, begitu pula dengan mengadakan kontak lewat telepon dengan ayah dan ibu, sebab tak ada lagi uang yang tersisa di saku celananya dan kini mereka harus menemukan tempat perlindungan terdekat seperti kantor polisi.

“Ichiyou-chan…?”

Lagi-lagi, tidak ada jawaban dari bocah perempuan di samping. Tangan milik Tsurugi masih menggenggam erat tangan Moka, ia berulangkali memastikan bahwa mereka tidak akan terpisah satu sama lain, dan berita baiknya—ia yakin posisi keduanya sudah jauh dari ruangan suram tempat mereka ditahan. Berharap saja para penculik itu tidak menemukan mereka di sini lalu menggiring kedua bocah ini agar kembali ke tempat lembab tersebut. “Kenapa tidak menjawab pertanyaanku? Ichiyou-chan tidak sedang melucu, kan?”, Tachibana kecil mengerutkan kening.

Ada sesuatu yang salah, pikirnya. Tsurugi merasa suhu badan mereka berbeda dan wajah lawan bicaranya terlalu pucat. Maka ia melepas jumper yang ia kenakan, mengulurkan pakaian hangat itu pada perempuan yang baru satu bulan ini ia kenal. “Pakai ini, supaya lebih hangat,” ia tidak peduli kalau ia yang kedinginan, karena yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa menemui kedua orangtua masing-masing dalam keadaan ‘baik-baik saja’.

“Jangan merepotkanku.” Tapi ia tahu kondisi Ichiyou sedang lemah. Ia tidak bisa meninggalkan bocah perempuan itu sendirian di sini. “Cepat naik. Meskipun kurus, tapi aku kuat, kok.” Tsurugi memunggungi Moka, kemudian berlutut dan menepuk punggungnya beberapa kali. Tahu artinya? Ini berarti ia mempersilakan punggungnya menjadi tumpangan bagi perempuan itu. Jangan lama-lama, sebentar saja; sampai ia menemukan klinik terdekat.

Langitnya mulai gelap, ada senja yang mengintip dari balik cakrawala, dan kakinya berdenyut oleh rasa nyeri karena terlalu lama berjalan.

“Ayo, Ichiyou-chan. Jangan khawatirkan aku, oke?”

Jangan berikan ia tatapan meragu.

 
0
Kudos
 
0
Kudos

Now read this

we’re all trying to forget someone

Saya melihatmu dari kejauhan, melalui bingkai jendela yang terbuka sepertigaduanya saja. Sama seperti matamu, yang hanya membuka sepertigaduanya. Tidak pernah lebih, dan tidak pernah kurang. Bahkan saat kamu tertidur di balik meja... Continue →